Waktu,
melesat-lesat begitu cepat. Berlari begitu kencang, meninggalkan
jejak-jejak memori dalam kehidupan. Rasanya hanya sekejap, 2 bulan
berlalu begitu cepat..dan tibalah kami harus meninggalkan negeri Paman
Sam. Program IELSP kami telah berakhir.
Saya
ingat bagaimana perasaan kami,para IELSPer Iowa di hari-hari terakhir
kami di sana. Perasaan kami campur aduk, tetapi perasaan sedih adalah
yang paling mendominasi. Sedih, ya tentu saja. Sedih meninggalkan semua
hal baru yang telah kami kenal di Amerika, Ms.Xiong, teman2
Internasional student, teman2 sesama Indonesia, para Instruktur IEOP,
kehidupan AS yang perlahan,kami telah terbiasa. Kami telah memiliki
keluarga di sana. Kami merasa nyaman, meski tentu saja, tidak ada
tempat di dunia ini yang senyaman tanah air.
Di
hari-hari terakhir, saya dan teman-teman memilih untuk menikmati
hari-hari terakhir kami dengan hal-hal yang menyenangkan. Kami lebih
sering ngumpul bersama, mempererat pertemanan kami. Sebab kami sadar,
bahwa sekembalinya kami di tanah air, kami akan berpisah. Kami berasal
dari dari Aceh hingga Papua, kami tinggal di kota yang berbeda-beda.
Kemungkinan kami akan bertemu setelah program adalah sangat kecil.
Bagaimanapun, teman-teman sesama grantee Iowa adalah keluarga yang
kami punya saat kami berada di AS. Kami senang dan susah bersama-sama.
Perpisahan yang hanya tinggal menghitung hari, membuat kami menjadi
agak melankolis ketika harus berbicara soal pulang.
Siang
ini, saya iseng-iseng membuka laptop, melihat-lihat foto dan video-
video kala masih di Iowa. Memori saya benar-benar terbawa kembali di
masa-masa itu.
***
April,23rd.Dinihari waktu Ames. Sebuah panggilan menyadarkanku dari tidur . Itu suara Lyla,roomateku. Katanya Ms xiong, supervisor kami telah menunggu di depan.
April,23rd.Dinihari waktu Ames. Sebuah panggilan menyadarkanku dari tidur . Itu suara Lyla,roomateku. Katanya Ms xiong, supervisor kami telah menunggu di depan.
Aku
melirik jam digital di meja belajarku. Kurang 15 menit pukul lima.
Dengan mata berat, aku bergegas bangun, mencuci muka dan mengenakan
jaket. Tidak mandi lagi, sebab semalam sebelum tidur aku menghabiskan
kurang lebih setengah jam berendam air hangat di bath up. Setelah
memastikan tidak ada yang ketinggalan di kamarku, aku bersiap untuk
keluar. Pagi itu, kamar tempatku tidur selama dua bulan itu nampak rapi
dan bersih. Tidak ada laptop dan tumpukan buku di atas meja, tidak ada
alunan Fireworks nya Katty Perry terdengar dari radio
mungilnya, tidak ada sweater dan jaket tergantung di lemarinya, dan
sebentar lagi… tidak akan ada lagi aku di dalamnya. Kamar itu, nampak
kembali normal seperti dua bulan lalu, ketika pertama kali aku
memasukinya. Hampa.
Agak kaget ketika aku menemukan Mohammed, teman sesama mahasiswa IEOP berada diruang tamu.
“Nothing left??” sapanya.
“I hope so, hey, what are you doing in this early morning??
“ To watch you leave” katanya sambil tersenyum. Senyumnya, aku tahu, tersirat kesedihan.
Aku tak menyangka Mohammed akan tiba di apartemen kami sepagi dan sedingin ini hanya untuk mengantar kami. Dibutuhkan sebuah pengorbanan besar untuk tiba di Schilleter di saat sebagian besar penduduk Ames masih terlelap di bawah selimut. Pemuda Kuwait itu memang sangat dekat dengan kami selama program. Terutama dengan Lyla, mereka layaknya saudara berbeda bangsa.
“I hope so, hey, what are you doing in this early morning??
“ To watch you leave” katanya sambil tersenyum. Senyumnya, aku tahu, tersirat kesedihan.
Aku tak menyangka Mohammed akan tiba di apartemen kami sepagi dan sedingin ini hanya untuk mengantar kami. Dibutuhkan sebuah pengorbanan besar untuk tiba di Schilleter di saat sebagian besar penduduk Ames masih terlelap di bawah selimut. Pemuda Kuwait itu memang sangat dekat dengan kami selama program. Terutama dengan Lyla, mereka layaknya saudara berbeda bangsa.
Aku dan
Lyla mengecek sekali lagi apertemen kami. Semuanya beres. Tidak ada
yang ketinggalan. Kecuali dua buah pasang sepatu yang sengaja kami
tinggalkan karena koper kami tidak cukup lagi menampungnya (belakangan
aku menyesal meninggalkan sepatu itu)
Aku
menyapukan pandangan ke seluruh ruangan apartemen 9B, sekali lagi,
untuk terakhir kalinya. Ruang duduknya yang nyaman, dapurnya yang
bernuansa putih semuanya nampak rapi. Selamat tinggal, Batinku. Dengan
perasaan yang tak bisa dijelaskan kami bergegas keluar, Mohammed
membantu kami menyeret koper-koper yang gemuk luar biasa itu menuju van.
Udara pagi Ames dingin menusuk hingga ke tulang. Aku mellihat teman-teman dari apartemen lainnya sibuk menaikkan koper-koper mereka ke van.
Bang
Ireng, saudara kami yang selama ini selalu menyemarakan hari-hari kami
di Iowa, nampak di antara para IELSPer lainnya. Ia, sebentar lagi,
akan ditinggal oleh ke-19 adik-adik Indonesianya.
Setelah semua koper dinaikkan, Ms. Xiong pun menginstruksikan kami untuk segera naik ke van. Dan inilah momen itu. Satu persatu, kami menyalami Bang Ireng dan Mohammed. Beberapa di antara kami mulai terisak pelan, termasuk aku.
Setelah semua koper dinaikkan, Ms. Xiong pun menginstruksikan kami untuk segera naik ke van. Dan inilah momen itu. Satu persatu, kami menyalami Bang Ireng dan Mohammed. Beberapa di antara kami mulai terisak pelan, termasuk aku.
Sambil menyalaminya
aku berkata:“ Bang Ireng, selamat tinggal…semoga kita ketemu lagi ya,
sukses buat studinya, maaf kalo selama dua bulan ini kami ada salah
sama abang, terima kasih untuk semua bantuannya selama program, See you
someday in Indonesia” Air mataku benar-benar tak bisa terbendung,
Bang Ireng tersenyum dan berkata” Maaf juga kalo saya ada salah, sukses buat kalian, semoga selamat sampe Indonesia, tetap semangat dan terus belajar”
Dan meskipun hari masih gelap, aku bisa melihat, di bawah sinar lampu jalanan, mata bang Ireng juga tergenang. Para anak lelaki menyalami dan merangkul Bang Ireng, erat.
Bang Ireng tersenyum dan berkata” Maaf juga kalo saya ada salah, sukses buat kalian, semoga selamat sampe Indonesia, tetap semangat dan terus belajar”
Dan meskipun hari masih gelap, aku bisa melihat, di bawah sinar lampu jalanan, mata bang Ireng juga tergenang. Para anak lelaki menyalami dan merangkul Bang Ireng, erat.
Aku
lalu menyalami Mohammed,” Mohammed, Thanks for everything, Thanks for
our wonderful moment together,nice to be your friend, I know I’m gonna
miss you, come to Indonesia if you have time”
Mohammed, yang meski secara fisik nampak jauhh lebih dewasa dari kami, nyatanya usianya jauh berada di bawah kami. Matanya berkaca-kaca. Sesekali ia mengusap air matanya.
“ I’m gonna visit ya’all in Indonesia” Katanya dengan senyum lebar meski dengan air mata yang menggenang.
Ia gagal menyembunyikan kesedihannya.
Mohammed, yang meski secara fisik nampak jauhh lebih dewasa dari kami, nyatanya usianya jauh berada di bawah kami. Matanya berkaca-kaca. Sesekali ia mengusap air matanya.
“ I’m gonna visit ya’all in Indonesia” Katanya dengan senyum lebar meski dengan air mata yang menggenang.
Ia gagal menyembunyikan kesedihannya.
Berdua
dengan Bang Ireng, ia menatap kami satu persatu menaiki van. Di bawah
lampu jalan, ditengah dinginnya udara pagi Ames, mereka melambai
sebagai tanda perpisahan ketika Van kami mulai berjalan perlahan. Dari
kaca jendela kami memandangi sosok dua pemuda yang telah menjadi
sahabat dan saudara kami selama di perantauan. Kami pun membalas
lambaian mereka. Beberapa di antara kami kembali terisak.
“Good bye Bang Ireng, Good Bye Mohammed, Good Bye Schilletter….
“Good bye Bang Ireng, Good Bye Mohammed, Good Bye Schilletter….
Haha..mulai hari ini, tidak akan ada lagi kami, bergerombol menanti bus menuju Schilleter.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah para bule yang kerap melihat kami di bus stop itu akan bertanya-tanya tentang keberadaan kami bila mereka tak menjumpai kami hari ini dan seterusnya di Farm House Dr.
***
Semburat cahaya merah mulai nampak di ufuk timur. Sebentar lagi matahari akan muncul.
Aku menatapnya tak berkedip.
Ini, adalah pagi terakhirku di Amerika.
Aku menatapnya tak berkedip.
Ini, adalah pagi terakhirku di Amerika.
Farm House Dr, tempat kami menanti Cyride setiap sore
***to be continued***
Comments
Post a Comment