Salah satu hal yang paling kita
rindukan ketika Ramadhan tiba adalah kehangatan keluarga. Menjalankan
ibadah puasa di tengah-tengah orang terkasih adalah suatu nikmat yang
tiada terkira. Itulah mengapa banyak perantau yang memilih mudik di hari
hari awal puasa. Alasannya agar biasa dapat awal puasa bersama keluarga
di rumah.
Memang
tak bisa dipungkiri. Di tengah-tengah keluarga, menjalankan ibadah
puasa itu terasa semakin khusyuk dan menyenangkan. Sahur bersama, buka
bersama, solat dan ngaji pun berjamaah.
Namun semakin saya besar, suasana Ramadhan semakin terasa ada yang kurang.
Waktu
yang melesat begitu cepat, mengubah beberapa hal dalam kehidupan
manusia. Kadang kita berharap waktu dapat statis, agar orang-orang yang
kita cintai selalu berada bersama kita.
Ramadhan
bertahun-tahun lalu, waktu saya masih kanak-kanak, adalah masa-masa
Ramadhan terindah dalam hidup saya. Masih ada Papa dan Nenek di
tengah-tengah kami. Ramadhan terasa begitu meriah. Bila solat tarawih
tiba ada Papa yang mengimami, kalau hendak berbuka, ada nenek yang akan
berkolaborasi dengan mama memasak di dapur.
Saya??
saya kecil akan bermain-main bersama anak tetangga atau dengan saudara
sepupu yang kerap datang berkunjung kala Ramadhan tiba. Menunggu bedug
magrib tiba, untuk menyantap masakan lezat mama dan nenek. Semuanya
terasa mengasyikkan.
Tapi..Time goes so fast, as I am grow, some people are dissapeared.
Yeah..menghilang.
Pertengahan
tahun 2005 nenek saya tercinta meninggal dunia. Quraisyin Abdul Walid,
wanita penyabar yang selalu mengingatkan saya dan cucu-cucunya yang lain
untuk tidak meninggalkan sholat itu pergi untuk selamanya. Sebuah
kehilangan besar dalam hidup saya. Juga bagi keluarga besar kami. Memori
dan kebiasaan yang kami lakukan bersama nya tinggallah kenangan.
Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 2009, papa saya juga pergi menghadap ke haribaan Sang Pencipta. Said Ibrahim, sang guru kehidupan yang menanamkan ilmu agama dan budi pekerti kepada saya sejak kecil itupun telah tiada.
Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 2009, papa saya juga pergi menghadap ke haribaan Sang Pencipta. Said Ibrahim, sang guru kehidupan yang menanamkan ilmu agama dan budi pekerti kepada saya sejak kecil itupun telah tiada.
Kepergian nya meninggalkan ruang kosong di hati saya hingga detik ini.
Mereka hilang dari episode kehidupan saya selanjutnya.
Mungkin
sudah cukup lama tanpa mereka. Tapi semua memori bersama mereka selalu
menari-nari di ingatan. Menimbulkan rasa rindu yang teramat dalam.
Terlebih ketika bulan Ramadhan tiba.
Seperti
malam ini, dan di malam-malam awal Ramadhan setiap tahunnya. Di saat
orang-orang mulai mengirimkan sms-sms ucapan berpuasa, rasa kehilangan
itu hadir kembali. Sedikit menyesakkan.
Saat ini, di rumah kami hanya bertiga. Saya, mama dan kakak saya.
Sepi? yeah. Sangat sepi.
Ada kalanya air mata saya tergenang bila teringat mereka yang telah tiada. Papa pergi hanya sebulan sebelum Ramadhan tiba. Empat tahun lalu, ketika kami harus melewati ramadhan pertama tanpa beliau, hati saya seperti teriris-iris.
Sepi? yeah. Sangat sepi.
Ada kalanya air mata saya tergenang bila teringat mereka yang telah tiada. Papa pergi hanya sebulan sebelum Ramadhan tiba. Empat tahun lalu, ketika kami harus melewati ramadhan pertama tanpa beliau, hati saya seperti teriris-iris.
Ramadhan 2009......
Pagi
yang dingin. Hari itu hari pertama puasa. Saya biasa paling susah kalau
harus bangun sahur sendiri. Biasanya sih dibangunkan dan yang biasa
membangunkan adalah papa. Namun pagi itu ada yang janggal. Saya tidak
mendengar suara papa membangunkan saya untuk bersahur. Saya juga tidak
melihatnya kala duduk di meja makan. Saya, mama dan kakak perempuan saya
duduk dalam diam. Menyantap tanpa sepatah kata terucap. Lalu mata saya
menangkap sesuatu yang berbeda di sudut meja. Biasanya ada empat
gelas minum di atas meja yang sudah disediakan mama. Punya saya, kakak
saya, mama saya, dan papa. Pagi itu tinggal tiga. Kenyataan bahwa satu
gelas sudah tak terpakai lagi membuat saya menyadari bahwa papa
benar-benar telah tiada. Untuk pertama kalinya sejak kepergian papa,
saya merasakan kehilangan yang teramat sangat. Betul kata orang-orang,
bila salah satu anggota keluarga kita meninggal, kita baru akan
benar-benar merasa kehilangan ketika bulan Ramadhan tiba.
Air
mata saya tidak bisa terbendung. Saya memutuskan untuk beranjak dari
meja makan. Ke ruang tamu. Di sana, saya terisak hingga bahu saya
terguncang keras. Saya tahu kepiluan itu bukan hanya saya yang rasakan.
Mama dan kakak saya pun demikian, Tapi kami berusaha untuk tidak
menunjukkan nya satu sama lain. Mungkin karena takut melukai perasaan
masing masing.
Saya tidak
benar-benar menyantap sahur pagi itu. Semuanya terasa hambar. Ingin
rasanya saya segera kembali tidur agar tidak seorang pun melihat air
mata saya pagi itu. Tapi percuma, mama sudah duluan menangkap basah saya
sedang menangis tersedu di ruang tamu. Namun beliau tidak mengatakan
apa-apa.
Dari matanya, tersirat kepedihan dan kerinduan yang sama.
Kehilangan
orang yang kita cintai itu menyakitkan karena kita juga akan kehilangan
kebiasaan-kebiasan hidup yang telah kita lalui bersama mereka. Itulah
mengapa kita merasa sebagian dari kita juga ikut menghilang.
Hari
ini, Ramadhan ke 4 tanpa papa, dan menjadi ramadhan ke 8 tanpa nenek.
Ketika orang-orang pulang ke kampung halaman mereka masing-masing untuk
beramai-ramai menjalani puasa bersama keluarga besar,
Saya disini...
merasa sepi.
merasa sepi.
Dan masih seperti Ramadhan sebelumnya.
Merasa kehilangan.
Merasa kehilangan.
Marhaban Ya Ramadhan....
Lihatlah…hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah..aku ingin bertemu .....
Namun tiada seindah dulu
Datanglah..aku ingin bertemu .....
*Jumat, 20 Juli 2012, kamar, hari pertama Ramadhan, dengan mata yang sedikit tergenang.
Comments
Post a Comment