"Aku akan menikah”
Perempuan berjilbab biru dihadapanku
itu nampak terkejut. Ia yang sedari tadi asyik dengan I-Phone nya
mendongak. Dikerjapkan mata lentiknya seakan tak percaya.
“Serius?”
Aku tersenyum mengangguk “Dua rius”
“Dengan siapa?”
“Sarah” jawabku pasti, menyebut
sebuah nama yang 3 tahun belakangan ini selalu membuatku bergetar.
Gadis itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia
tergelak.”Ha..ha…ha…kau?melamar seorang Sarah?Coba ceritakan
bagaimana caranya,hm?
“Aku mengiriminya pesan
singkat.Mungkin akan mengajaknya untuk makan di sebuah Cafe dan
memberikannya sebuah cincin. Cincin berlian. Melamarnya”
“ Dan kau pikir apa kira-kira
jawabannya?
“Ya!”jawabku mantap.
Seorang pelayan datang menawarkan menu
di meja kami.
“Crispy Vanilla cream dan Cappucino,
tak pake lama,ok.” Si pelayan mengangguk tersenyum dan bergegas ke
belakang.
“Bagaimana kau tahu aku akan pesan
itu? Tanya si gadis heran.
“Bukankah itu yang selalu kau pesan?”
“Tidak juga, kau terlalu sok tahu”
Hening sejenak…
Di luar hujan mulai turun perlahan.
“Lalu?”
"Lalu apa? Tanyaku pura-pura tak
mengerti.
“Soal si Sarah”
“Aku akan menikahinya sesegara
mungkin”
“Kau yakin?
“sangat yakin”
“Apa yang kau punya untuk
menikahinya?”
“Aku??Aku punya ini”
Aku menunjuk tubuhku sendiri. Di suatu
tempat yang aku pikir hatiku tergeletak.
Gadis berjilbab biru itu kembali
tertawa.
”Kau pikir itu cukup?”Itu tak cukup
berharga” cemoohnya.
“Tentu saja ini berharga,kalo benda
di dalam diriku ini dijual, ini akan berharga jutaan bahkan mungkin
puluhan juta rupiah, bagi orang yang membutuhkan”
“Kalo begitu jual lah” kata si
gadis dengan nada mengejek.”Lalu belikan rumah, mobil, harta dan
cincin berlian yang mahal untuk kau pakai melamar Sarah. Kalau cukup
sih.”
Gadis ini keterlaluan.batinku
dalam hati
“Aku tak akan menjualnya sebelum aku
menemukan setengahnya, benda ini belum lengkap. Belum cukup berharga
bila aku belum menemukan separuhnya.
“Lalu dimana separuhnya?”
“Ada di dalam diri Sarah” Jawabku
tersenyum puas.
“Sinting” Hanya itu yang keluar
dari bibir gadis itu.
“Siapa?”Tanyaku dengan wajah polos.
“Kau! Tidak bisakah kau bersikap
sedikit realistis?”
“Sarah itu real” Jawabku
kalem.
“Kau itu terlalu kepedean.
Lihat dirimu? Siapa kau? Kuliah saja belum kelar-kelar. Pekerjaan
belum jelas. Berapa hasil yang kau dapat dari pekerjaan tak penting
itu,menjadi fotografer ? Seribu? Dua ribu? Bagaimana bisa kau melamar
Sarah?
Ah,gadis ini terlalu melecehkan.
Aku kembali membatin.
“Bisa saja”jawabku tenang
“Hey,boy! Keluarga Sarah itu
keluarga terpandang. Mana mau mereka merelakan putri semata wayangnya
pada orang sepertimu, kau bisa kasih makan apa dia nanti? Dan kalau
kalian punya anak, bagaimana kau bisa menyekolahkannya, memenuhi
kebutuhannya dan lain-lain?”
“Entahlah…tapi cara berpikirmu itu,
seperti cara berpikir orang yang tak percaya Tuhan”
“Maksudmu?!” Si gadis nampak
tersinggung.
“Rejeki sudah ada yang mengatur.
Pernikahan tidak akan membawa kesusahan. Jangan khawatir soal rejeki.
Bukankah Allah sudah berjanji soal itu?”
“Memang, tapi bukankah harus tetap
diusahakan? Selama ini kau hanya mengandalkan kameramu untuk mendapat
uang, tanpa mau mencoba pekerjaan lain. Aku sudah menawarimu berbagai
pekerjaan di kantor ayahku, tapi kau tolak, karena tak sesuai
idealismemu lah, tak sesuai minatmu lah..bla..bla. Sekarang kau butuh
uang untuk melamar Sarah dan uang tidak akan jatuh seketika dari
langit. Berpikirlah realistis. Pakai akalmu.”
“Kau lupa rupanya, cara kerja Tuhan
kadang melebihi batas akal manusia. Selama kita yakin dan tetap
berusaha, pasti ada saja jalannya.
Hening. Hanya suara rintik hujan di
luar sana yang terdengar. Si pelayan datang kembali mengantarkan
pesanan.
“Terima kasih” ucapku.
Ia mengangguk dan kembali menghilang ke
belakang.
“Tapi tidak semudah itu. Sarah belum
tentu mau menerimamu”
“Dia pasti menerimaku. Dia selalu
menerimaku, bahkan ketika seisi dunia menolakku karena’keanehan’ku”
Si gadis berjilbab biru memutar bola
matanya,putus asa.
“Kalau begitu keluarganya yang akan
menolakmu”
“Itu biasa. Aku akan
memperjuangkannya.Kau lupa, aku sudah kebal dengan berbagai
penolakan. Bukankah aku memang sudah terlalu sering ditolak? Aku yang
aneh, aku yang bodoh, aku yang tak punya pekerjaan, seperti katamu
tadi.
“Kau akan malu dihadapan mereka”
“Aku tak peduli”
“Kau akan dilecehkan “
“Sudah biasa”
“Ah kau ini” Gadis itu menyeruput
Vanilla Creamnya.
Hening kembali. Sebuah lagu lawas
mengalun . Menjadikan suasana café itu terkesan lebih romantis. Aku
memperhatikan, semakin malam, café itu nampak semakin ramai.
“Mengapa kau ingin menikahinya?”
tanya gadis itu kemudian. Rupanya ia belum menyerah.
“Aku ingin menyempurnakan agamaku.
“Mengapa harus dia?”
“Karena dia jodohku.” Jawabku cuek
sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua dari ransel
tuaku.
Gadis itu mengawasiku. Ekspresinya
awas.
Perlahan aku membuka kotak itu,
mengeluarkan sebuah cincin emas putih yang bertahtakan berlian dan
menunjukkannya kepada gadis keras kepala itu.
Gadis itu nampak kaget melihat benda
yang aku perlihatkan dihadapannya. Namun ia bisa menguasai diri
secepatnya. Aku tahu ia bisa menaksir harga benda itu dan tak mengira
aku bisa membelinya.
“Cantik kan? Seumur-umur, Ini benda
paling mahal yang pernah kubeli dengan uangku sendiri.
“Hmm..lumayan. Dan dari mana kau
dapat uang untuk membelinya?” Nadanya masih sama, mengejek.
“Dari pekerjaan tidak penting yang
kau singgung tadi. Memotret."Jawabku tersenyum puas.
Si gadis membuang muka, acuh. Ia jelas
telah kalah.
“Kau muslim kan? Kau percaya Tuhan
kan? Menikahlah denganku,Sarah….
Gadis itu diam. Di luar hujan turun
semakin deras....
Kamis,dinihari.
Untuk sahabat yang akan menyempurnakan agamanya, 22 Desember tahun
ini.
Comments
Post a Comment