"Wahai Presiden kami yang baru....
Kamu harus dengar suara ini..
Suara yang keluar dari dalam hati..
Suara yang penuh kebosanan..."
(Iwan Fals, Manusia Setengah Dewa)
9 Juli 2014.
Hari masih pagi. Seperti dugaan saya, TPS 9 tempat saya terdaftar sebagai pemilih masih sangat lengang. Alasannya sudah jelas :
banyak yang ketiduran karena menonton bola semalam. Baguslah, berarti saya ga
perlu lama-lama antri menunggu giliran untuk mencoblos.
Setelah menyerahkan A5 saya kepada petugas, saya duduk di
kursi antrian sambil memperhatikan para petugas yang sibuk dengan kertas-kertas
dihadapannya. 5 tahun lalu, saat pilpres
2009, bapak saya ada diantara mereka, sebelum beliau berpulang untuk
selama-selamanya.
Sedang asik dengan pikiran saya sendiri, tiba-tiba saya
mendengar nama saya di panggil. Saya melangkah maju, Surat suara lalu diberikan.
Lebih kecil, lebih simpel, karena hanya ada dua pilihan. 1 atau dua. Saya pun
masuk ke bilik suara dan membuka surat suara. Wajah 4 orang putra bangsa
tersenyum manis ke arah saya. Seakan berkata “ Ayo pilih saya, pilih saya”.
Lalu saya teringat hari-hari terakhir jelang pilpres yang
cukup menguras energi dan emosi para pendukung masing-masing kubu, kala mereka
saling serang dan saling menjatuhkan demi
membela ke empat orang dihadapan saya ini. Caci, maki, sumpah serapah
bergaung di udara, di media, di warung-warung kopi, di kantor-kantor, di
mana-mana. Fakta dan fitnah membaur jadi satu, berusaha meyakinkan logika para
pemilih yang bimbang dan masih plin-plan.
Bapak-bapak yang terhormat, tahukah anda ada berapa banyak
orang yang tercerai berai karena mati-matian membela anda?
Ada kawan yang menjadi lawan, ada keluarga yang saling
serang, ada tetangga yang diam-diaman. Tahukah
anda,bahwa meskipun pilpres telah berakhir, mereka belum tentu akan berbaikan,
meskipun ini momen ramadan, meskipun nanti bakal lebaran.
Untuk itu bapak-bapak yang terhormat, mohon jangan sia-siakan pembelaan mereka. Jadilah pemimpin
yang amanah ketika anda diberi kuasa. Negeri ini sudah kenyang dengan janji.
Negeri ini sudah bosan dengan korupsi. Negeri ini sudah cukup tertinggal jauh
sendiri.
Untuk itu dari hati yang paling dalam, saya memohon, saya
mengiba, bahkan saya rela berlutut untuk meminta kepada anda, agar kelak bisa
menjadi pemimpin yang setia pada negara,
pada pancasila, pada rakyat Indonesia.
Menomorsatukan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan
golongan, meneggakkan kembali hukum yang telah lama bengkok ke kiri dan ke
kanan, menentang segala bentuk ketidak adilan, memberantas kemiskinan dan
lain-lain.
Ingat, anda diberi kuasa bukan untuk menjadi raksasa, bukan
untuk membuat anda kaya raya. Nasib 200 juta penduduk Indonesia ada di tangan
anda. Sebagai pemimpin, tanggung jawab anda bukan hanya kepada manusia, tetapi
juga kepada Sang Maha Penguasa.
Btw, rasa-rasanya saya sudah cukup lama saya memandangi kertas
suara tersebut, Keempat capres-cawapres itu masih terus tersenyum ke arah saya.
Satu persatu saya tatap wajah mereka. Kalian orang baik, Siapapun yang
terpilih, Semoga bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.
Dengan menyebut asma Allah, saya mengoyak kertas suara itu
dengan mantap.
*9 Juli 2014, pulang dan tidur ulang,,,
Comments
Post a Comment